Belakangan ini sibuk banget. Ya orangnya sibuk, pikirannya juga sibuk. Pengumuman hasil SNMPTN udah lama berlalu, tapi pikiran masi aja berseliweran kemana-mana. Aku juga gak tau kenapa aku jadi serba ragu begini padahal awalnya udah yakin bin mantap semantap-mantapnya. Aku gak tau kemana perginya Jessica yang optimis kalau apa yang udah dipilihnya dan diyakininya selama ini adalah sesuatu yang benar dan dapat membawanya dalam proses perwujudan mimpinya. Yang ada sekarang malah Jessica yang cuma mikirin orang-orang yang bakal dia tinggal dan orang-orang yang bakal ninggalin dia kalau dia tetep lanjutin apa yang dia yakinin dulu. Pikiran-pikiran semacam itu tentu aja menjadi faktor utama keberhentian sejenak dari langkah yang sedang kuambil. Sampai kemarin(16 Juni 2014), aku masih bingung dan galau banget keputusan apa yang bakal aku ambil. Soalnya kalau kemarin kalau aku gak mau ngelanjutin sebenarnya masih bisa terwujud. Masih bisa sekali tentunya. Karena pendaftaran ulang untuk calon maba yang diterima di jalur SNMPTN berlangsung hari ini. Jadi, kalau sebenarnya aku gak mau hari ini aku gak usah hadir aja, dan otomatis namaku langsung dicoret dari daftar calon maba di universitas yang aku pilih dulu itu. Tapi yah kenyataannya aku hadir hari ini. Aku ikut mengantri untuk melakukan daftar ulang hari ini. Dan aku gak tau apa yang kulakukan ini bener apa enggak.
Kenapa aku jadi galau mengenai ini? kenapa aku jadi ragu untuk melanjutkan langkahku yang bisa aku bilang sudah sesuai sama apa yang aku harapkan? kenapa aku yang dulu bersemangat saat ditanaya mau melanjutkan dimana dan apa jadi terdiam dan hanya bisa tersenyum hambar saat ditanya hal yang sama? pertanyaan-pertanyaan seperti itu sempat kutanyakan pada diriku sendiri. Dulu aku bingung saat melihat drama korea yang ceritanya hampir mirip dengan ceritaku ini, hanya saja background masalahnya bukan masalah tentang perkuliahan tetapi tentang masalah percintaan. Tapi kegalauan dan kebingungannya sama dengan apa yang kualami sekarang. Di drama itu ada seorang wanita pegawai negri punya impian ingin segera menikah. Sangking inginnya menikah, dengan siapapun bukan menjadi masalah lagi. Sampai dia bertemu dengan seorang pria pewaris hotel dan resort yang kemudian berhasil membuatnya benar-benar jatuh hati. Padahal awalnya cerita cinta itu hanya berawal dari sebuah sandiwara. Mereka berdua benar-benar memperjuangkan cinta mereka. Terutama sang wanita. Karena dia harus dihadapkan dengan kembalinya sang mantan dari pria yang ia cintai tersebut. Tetapi akhirnya pria itu tetap memilih wanita itu dan melupakan mantannya. Lalu, tante dari pria itu sempat tidak setuju dengan hubungan mereka dan masih ada lagi masalah-masalah yang lainnya. Namun, pada akhirnya pria itu melamar wanita itu untuk menjadi istrinya. Mimpi yang selama ini dinantikan oleh wanita itu benar-benar sudah didepan mata dan siap untuk dijawab. Tapi apa yang dilakukan wanita itu? dia malah pergi ke suatu pulau untuk menyendiri untuk menjauh sejenak dari pria yang selama ini dia perjuangkan cintanya. Dia belum menjawab dan sang pria pun terus membujuknya agar mau segera menerima lamarannya. Aku pada saat itu yang memang belum merasakan keadaan seperti itu malah berkomentar negatif seperti, "Kenapa sih gak diterima aja? kan itu yang dia mau selama ini!", "Aduh, bego banget sih kenapa gak diteriama aja? kasian kan cowoknya!", dan masih banyak lagi komentar-komentar negatif yang sempat aku lontarkan karena kesal atas sikap wanita itu.
Tapi, apa yang terjadi sekarang? aku benar-benar merasakan apa yang dirasakan wanita dalam drama itu ketika tiba waktunya aku harus menjawab mimpi(yang selama ini aku impikan) ada didepan mataku, aku hanya bisa terdiam dan tidak tahu mau menjawab apa.
Di satu sisi itu yang selama ini aku mau, aku inginkan, tapi disaat aku rasa aku tau apa yang aku mau, orangtuaku ga bisa terima keputusan aku yang mau melanjutkan studiku ke luar kota. Dan setelah aku berusaha membujuk agar aku dibolehkan untuk melanjutkan studi diluar kota, akhirnya aku mendengar kata-kata "Iya dong, dia kan mau kuliah di luar kota" dengan nada yang positif dari papaku untuk yang pertama kalinya. Aku yang mendengar hal itu dari kamar langsung merasa bahagia karena akhirnya aku dibolehkan untuk melakukan apa yang paling aku inginkan. Tapi, tak lama setelah itu, benar-benar tak lama setelah hal itu, pada hari itu juga, aku merasakan dunia di atas awan yang sedang kubangun runtuh menimpaku. Kenyataan menyadarkanku. Tanteku datang kerumahku, melihat nilai akhirku, lalu mengatakan lebih baik aku melanjutkan ke bangku perkuliahan dan papa bertanya balik dengan pertanyaan "Memangnya mau kemana?", tanteku langsung menyebutkan nama PTN yang ada di kotaku. Papa berusaha menjelaskan kalau bukan itu yang aku mau, dan memberitahu dimana aku berniat melanjutkan studiku. "Malang? mau sama siapa? siapa yang antar? emangnya bisa hidup, apa-apa sendiri? terus memangnya mau ambil apa?", ya, pertanyaan beruntun itu langsung diatnyakan kepdaku karena papa yang memanggilku keluar. Dan aku cuma bisa menjawab dengan suara pelan "Sastra Inggris". "Sastra Inggris? kamu mau jadi apa habis keluar dari situ? okelah, kalau kamu emang ngotot mau di Malang, tapi jurusannya jangan itu dong, yang jelasan dikit masa depannya. sekarang kamu bilang sama tante kamu mau jadi apa habis itu? coba sebutin pekerjaannya apa-apa aja! Mungkin masih ada harapan kalau di kota-kota besar, tapi kalau di Samarinda?!". Seperti yang bisa dibayangkan aku bakal membuat ekspresi apa dengan kata-kata tajam seperti itu. Terdiam. Mau menjawab tapi ga bisa, padahal aku mau mengatakan sesuatu. Sebenarnya dengan kata-kata seperti itu air mataku bisa langsung jatuh, tapi tidak pada saat itu. Papa yang awalnya mulai yakin dengan apa yang sudah aku pilih, mulai menjadi ragu dengan pilihanku itu. Papa kembali gak mengizinkan aku lagi. Dan kali ini lebih parah, karena bukan masalah tempat aja, tetapi jurusan yang aku pilihpun menjadi masalah. Aku tidak tahu mau melakukan apa. Sesiangan itu aku hanya mendapat ceramah, nasihat, dan pendapat dari tante-tanteku yang lain, aku berusaha menahan air mata seharian. Tapi aku sudah gak bisa menahannya pada malam hari, semua air mata yang kutahan sejak tadi kutumpahkan semuanya. Awalnya aku tak ingin menceritakan pada siapapun, tapi akhirnya aku menceritakan cerita ini ke salah satu guru bahasa Inggrisku yang aku rasa bisa memberikan pendapatnya. Aku hanya bisa menangis pada malam hari itu. Tak lama setelah itu, tepatnya tiga hari kemudian (27 Mei 2014), aku mendapatkan hasil seleksi SNMPTN yang menyatakan aku lulus seleksi. Aku langsung menangis pada saat itu juga, tapi setelah aku menangis tidak percaya, aku langsung terdiam karena gak tau aku mau melakukan apa selanjutnya. Berjam-jam aku terdiam, lalu aku memutuskan untuk memberitahu mamaku terlebih dahulu dan beberapa hari kemudian baru muncul keberanianku untuk mengatakannya kepada papaku. Respon awal sangat dingin, papaku tidak pernah menyinggung masalah itu untuk beberapa waktu, seakan-akan aku gak pernah mengatakn hal itu. Aku juga gak mau memaksanya kali ini, jadi aku cuma bisa membalas diamnya dengan diam juga. Aku mulai berfikir untuk melakukan apa yang dia mau, tapi disaat yang sama papaku memberikan izinnya. Aku.. bingung harus merasa apa. Senang? Sedih? harusnya aku bahagia, tapi karena aku bingung harus merasa apa ketika apa yang paling aku inginkan terwujud, aku mulai ragu apakah ini yang sebenarnya aku inginkan. Situasi ini benar-benar sama dengan yang ada di drama Korea itu, saat apa yang aku mau ada didepan mata, aku gak bisa memberikan jawaban. Semua kujalankan dengan ragu-ragu. Sampai hari ini aku masih gak tau apa ini yang aku inginkan sebenarnya. Aku mulai ngerasa hanya dengan berada di sekeliling orang yang aku sayang adalah satu-satunya hal yang aku butuhkan di dunia ini, aku gak perlu yang lain. Aku mulai berfikir untuk mengorbankan apa yang sudah aku impikan agar bisa selalu disisi orang-orang yang aku sayang, agar bisa bersama mereka selamanya. Aku gak mau melewatkan satu detikpun tanpa mereka. Aku bener-bener gak tau mau melakukan apa, ini kali pertamaku untuk dihadapkan suatu pilihan yang sulit. Disaat orang-orang disekitarku mulai percaya sama aku, aku malah mulai meragukan diriku sendiri. Aku butuh sesuatu yang bisa meyakinkanku, dan aku masih berusaha mencarinya sampai sekarang.